Halo, nama saya Sean Harrison. Saya 45 tahun, dari Amsterdam, Netherlands. Hari ini saya menulis dari sebuah kamar hotel kecil dekat bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Kamar ini bau sedikit lembab, AC bunyinya keras, dan saya bisa dengar suara klakson jauh di luar jendela. Saya baru saja mendarat beberapa jam yang lalu. Rasanya… aneh. Seperti hidup saya di Eropa itu cuma mimpi panjang yang sudah selesai tiba-tiba.
Saya bekerja di corporate office di Amsterdam selama 20 tahun. Dua dekade penuh dengan PowerPoint, meeting, KPI, dan email yang tidak pernah berhenti. Saya pikir hidup saya stabil, mungkin sedikit membosankan, tapi aman. Lalu, satu minggu yang lalu, manajer saya memanggil ke ruangan dengan kaca besar dan senyum palsu.
“Restructuring, Sean. It’s not personal. You’ve been great for the company.”
Dalam 30 menit, 20 tahun hidup saya disimpan rapi dalam satu kotak kardus kecil. Foto di meja, mug kantor, beberapa kertas, dan rasa malu yang saya tidak tahu harus saya taruh di mana.
Dua hari setelah saya dipecat, istri saya mengatakan sesuatu yang menghancurkan sisa yang masih berdiri di dalam diri saya. Dia bilang, dengan suara pelan dan sangat rapi, bahwa dia sudah tidak mencintai saya lagi. Bahwa dia sudah ada orang lain. Saya ingat dia memakai sweater biru muda, membuat teh, dan bicara tentang perasaan seperti dia sedang laporan cuaca.
“Maybe this is better for both of us, Sean.”
Saya tidak marah waktu itu. Saya hanya kosong. Seperti semua suara di dunia tiba-tiba mati. Hanya ada bunyi sendok menyentuh cangkir.
Beberapa hari kemudian, saya duduk sendiri di apartemen Amsterdam yang terlalu rapi, terlalu dingin. Saya buka laptop, masuk ke website pencarian tiket. Saya klik filter: one-way, cheapest, long-haul. Muncul satu nama kota yang jujur saja dulu saya tidak pernah pikir untuk dikunjungi: Jakarta.
Saya tidak punya rencana besar. Saya bukan travel blogger profesional. Saya bukan digital nomad yang keren. Saya hanya seorang pria Belanda yang merasa hidupnya sudah direset secara paksa. Jadi saya beli tiket satu arah ke Jakarta, tanpa itinerary, tanpa daftar tempat wisata, tanpa alasan logis. Saya hanya ingin kabur sejauh mungkin dari semua yang saya kenal.
First Breath of Jakarta
Ketika pesawat mendarat, saya melihat lampu-lampu kota yang seperti lautan kuning dan oranye, sangat padat, seperti tidak ada ruang gelap di antaranya. Di Amsterdam, malam terasa rapi dan sunyi. Di sini, dari jendela pesawat saja, saya sudah merasa ada semacam kekacauan yang… hidup.
Begitu keluar dari pesawat dan melewati pintu ke arah imigrasi, udara pertama yang masuk ke paru-paru saya membuat saya hampir mundur selangkah. Panas, lembab, dan tebal. Ini bukan udara, ini seperti selimut basah yang dilempar ke wajah saya. Saya berkeringat langsung, bahkan sebelum antri imigrasi. Kemeja saya nempel di punggung. Saya merasa sedikit malu, seperti tubuh saya tidak siap sama sekali untuk tropis.
Di antara bau parfum penumpang dan aroma karpet bandara, tiba-tiba saya menangkap sesuatu yang baru untuk hidung saya: bau kretek. Tembakau manis bercampur cengkeh. Di Belanda, rokok bau dingin dan tajam. Di sini, asap terasa… hangat dan lengket, seperti kenangan yang tidak mau pergi. Jujur, saya sedikit pusing, tetapi juga penasaran.
Bahasa yang Tergelincir di Lidah
Saya sudah mencoba belajar beberapa kata Bahasa Indonesia dari aplikasi di pesawat. Tapi ketika saya sampai di loket imigrasi, semua kata hilang dari kepala saya.
Petugas imigrasi melihat saya dengan wajah datar tapi tidak jahat. Dia bertanya sesuatu yang saya asumsikan adalah pertanyaan standar.
“Tujuan ke Indonesia apa, Pak?”
Saya panik sedikit. Otak saya campur Belanda, Inggris, dan sedikit Indo kacau.
“Ehm… holiday… liburan… maybe… also… mencari… diri sendiri?”
Petugas itu mengangkat alis, lalu senyum sangat tipis, seperti dia sudah dengar semua alasan aneh di dunia.
“Wisata saja ya, Pak.” Dia mengetik sesuatu di komputer, lalu stempel paspor saya. Saya merasa seperti baru saja resmi melarikan diri dari hidup lama saya.
Keluar ke Kekacauan
Di area kedatangan, orang-orang menunggu dengan papan nama, suara keras, dan tatapan penuh rasa ingin tahu. Saya merasa sangat putih, sangat bule, sangat asing. Seorang laki-laki mendekat, bicara cepat:
“Taxi, Mister? Taxi, taxi! Meter, blue bird, good price!”
Bahasa Inggrisnya lebih baik daripada Bahasa Indonesia saya yang kacau. Saya mencoba sopan.
“Eh… saya mau… eh… hotel dekat sini saja. Tidak terlalu mahal… cheap. Bisa?”
Dia mengangguk seperti sudah sangat terbiasa dengan wisatawan bingung seperti saya. Di luar, panas seperti oven. Udara bercampur bau bensin, asap kretek, tanah basah, dan sesuatu yang saya tidak bisa identifikasi. Mungkin ini bau dari 10 juta kehidupan hidup bersama di satu kota.
Di jalan, saya melihat traffic yang tidak masuk logika saya. Motor-motor seperti air mengalir, menembus celah sempit, klakson seperti bahasa lain yang saya belum mengerti. Di Amsterdam, sepeda punya jalur rapi, lampu merah dipatuhi, semua seperti teratur. Di Jakarta, semuanya seperti berantakan tapi tetap bergerak ke depan. Entah bagaimana.
Saya merasa sangat kecil di dalam taksi itu, seperti titik putih tersesat di dalam lukisan besar penuh garis kacau.
Malam Pertama, Kota Asing
Hotel saya sangat sederhana. Di koridor lampunya redup, dindingnya agak kotor, tapi stafnya tersenyum sangat lebar pada saya.
“Selamat malam, Pak.”
“Selamat… malam,” saya jawab dengan pelafalan kaku. Rasanya seperti belajar bicara lagi di usia 45 tahun.
Di kamar, saya duduk di tepi kasur, masih mendengar jauh di luar suara motor dan mungkin warung yang belum tutup. Saya buka gorden, dan melihat lampu-lampu kecil di kejauhan. Saya pikir tentang kantor di Amsterdam yang sekarang tidak lagi punya meja dengan nama saya. Saya pikir tentang istri saya yang mungkin malam ini tidur di ranjang yang sama, tapi dengan orang lain.
Di sini, di kota yang bahkan tadi pagi hanya nama asing di tiket elektronik, saya tiba-tiba punya sesuatu yang aneh: ruang kosong.
Tidak ada rapat besok. Tidak ada istri yang menunggu atau marah. Tidak ada rencana. Hanya saya dan suara bising kota yang tidak kenal saya sama sekali.
Rasanya menakutkan. Tapi juga, sedikit sekali, sangat kecil, ada rasa lega. Seperti saya bisa mulai dari nol, meskipun saya tidak tahu bagaimana caranya.
Saya menulis ini di layar laptop, dengan AC hotel yang terlalu dingin di punggung saya, dan keringat yang masih belum kering sepenuhnya. Saya dengar satu lagi suara klakson di kejauhan, dan saya bertanya pada diri sendiri:
Apa yang saya cari di sini?
Saya belum tahu. Tapi mungkin, di jalan-jalan panas dan berisik Jakarta, di antara bau kretek dan kemacetan yang tidak masuk akal, saya akan menemukan sesuatu. Atau setidaknya, saya akan belajar bagaimana rasanya hidup tanpa skenario rapi yang saya pegang selama 20 tahun.
Ini adalah catatan pertama saya. Seorang pria Belanda dengan hati yang retak, mendarat di kota yang tidak minta kedatangannya. Besok, mungkin saya akan mencoba keluar dari hotel, belajar mengucapkan beberapa kata baru, dan melihat Jakarta bukan hanya dari jendela taksi.
Untuk malam ini, saya hanya ingin tidur. Meskipun saya tidak yakin mimpi mana yang lebih menakutkan: mimpi tentang hidup lama saya, atau kenyataan baru saya di sini.